SOLOPOS.COM - Ilustrasi pakaian. (Freepik)

Solopos.com, SOLO  — Industri tekstil dalam negeri disebut tengah menghadapi predatory pricing. Tantangan tidak hanya datang dari faktor eksternal, namun juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Kondisi saat ini disebut sebagai kondisi terburuk sejak sembilan tahun terakhir untuk dunia tekstil.

Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) di Solo, Selasa (25/6/2024). Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah (Jateng), Liliek Setiawan, menyampaikan tantangan industri tekstil saat ini muncul dari berbagai faktor. Salah satunya sistem perekonomian dalam negeri yang disebut gagal dalam melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri. Hal itu dapat dilihat dari yang terjadi saat ini, yang tidak hanya dumping.

Promosi Telkomsel IndiHome dan Cooltura Gelar Festival Musik dan Budaya di 6 Kota

Menurutnya yang terjadi saat ini sudah mengarah pada predatory pricing atau strategi ilegal menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli. Dia mengatakan dengan dampak yang bisa mematikan pelaku usaha lokal, predatory pricing meatinya sudah tidak dapat diterima. Sebab ujungnya bukan hanya mematikan industri besar, namun termasuk UMKM.

Dia mengatakan predatory pricing bisa terjadi karena banyak faktor. Salah satunya kondisi global yang tidak menentu mulai dari pandemi Covid-19 yang melanda dunia hingga konflik geopolitik. Hal itu membuat grjolak dalam perekonomian yang sangat merugikan. Kondisi kemudian diperparah dengan lesunya market akibat pergeseran prioritas untuk spending termasuk di kalangan masyarakat sasaran ekspor.

“Seperti di ketahui, untuk negara produsen, kita ini bukan satu-satunya dan yang menjadi isu utama saat ini adalah negara-negara di Indocina, berkembang sangat pesat industri tekstilnya,” kata dia.

Pertumbuhan di negara-negara tersebut ditengarai karena adanya pergeseran atau relokasi industri tekstil dari China ke negara-negara tersebut. Selain itu ada IPB (India, Pakistan, Banglades) yang juga tak kalah berkembangnya. Diduga semua negara tersebut juga memiliki tujuan ekspor yang sama dengan Indonesia. Mislanya untuk market besar seperti Eropa, Amerika, Korea Selatan, Jepang dan lainnya.

Di sisi lain negara produsen tersebut juga mengalami kesulitan mendapatkan pasar. Akhirnya berlomba mencari pasar yang besar dengan jumlah populasi yang besar. Indonesia sebagai negara dengan populasi termasuk yang besar di dunia, mestinya menjadi potensi kekuatan ekonomi. Namun tentunya juga akan menjadi negara yang dibidik sebagai market dari negara-negara produsen.

“Kenapa dibidik? Kenapa bukan China atau India? Sebab mereka punya sistem pengamanan pasar domestik dan industri domestik yang sangat bagus. Walaupun masih menjadi anggota WTO namun sistem untuk melindungi pelaku pasar dalam negeri sangat bagus,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya