SOLOPOS.COM - Presiden Komisaris PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, dalam podcast yang dipandu Presiden Direktur Solopos Media Group (SMG), Arif Budisusilo, Selasa (25/6/2024).(Tangkapan Layar)

Solopos.com, SOLO — Gempuran barang impor dinilai tak hanya memberikan dampak langsung pada industri tekstil dalam negeri. Jika hal tersebut dibiarkan terus-terus menerus, bukan tidak mungkin juga akan berdampak pada human capital atau sumber daya manusia Indonesia.

“Saya tidak ingin menyudutkan siapa pun. Namun yang saya sampaikan ini adalah bagaimana untuk membangun Indonesia yang utuh. Apa yang ada di depan mata, pekerjaan yang tersedia di negeri kita, jangan hilang,” kata Presiden Komisaris PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, dalam podcast yang dipandu Presiden Direktur Solopos Media Group (SMG), Arif Budisusilo, dipantau Selasa (25/6/2024).

Promosi Perluas Akses Kehidupan Desa, Telkom Rekonstruksi Jembatan Gantung di Sukabumi

Menurutnya hal yang paling dikhawatirkan jika tekstil dalam negeri sudah digantikan dengan produk impor, maka tidak ada lagi skill pertekstilan di Indonesia. Sementara, sejauh ini Indonesia telah memiliki banyak potensi termasuk human capital di bidang pertekstilan.

Menurutnya tidak masalah impor dilakukan sejauh masih sebatas wajar. Namun ketika impor dilakukan secara berlebihan, dampaknya akan berbahaya bagi perekonomian dalam negeri.

“Impor ini lama-lama kalau kebanyakan akan jadi racun,” lanjut dia.

Dikatakan, saat ini Indonesia telah banyak memiliki skill di bidang pembuatan tekstil, termasuk membuat benang, membuat batik, pewarnaan, penenunan dan lainnya. Dimana hal itu menurutnya tidak boleh hilang dari Indonesia.

“Ini yang perlu menjadi kepentingan bagi Indonesia, ini adalah human capital. Jadi saat ini yang paling diserang adalah human capital kita. Jika dibiarkan kan bahaya,” kata Iwan dalam acara yang disiarkan di Youtube Espos Indonesia tersebut.

Dia mencontohkan ketika Indonesia sudah dijejali dengan bahan jadi, maka kesempatan SDM dalam negeri untuk sekedar menjahit pun sudah tertutup. Apalagi untuk skill pembuatan benang, pewarnaan dan sebagainya, sudah tidak dibutuhkan lagi.
Sementara untuk potensi pasar dalam negeri terkait tekstil masih cukup besar.

Terlebih Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Dia mencontohkan, kerika melihat pada sejumlah platform pasar online, maupun ritel, maka jenis produk yang paling banyak dicari adalah fashion dan tekstil. Namun ketika potensi pasar dalam negeri itu pun sudah diserahkan pada produk impor, maka SDM yang ada di Indonesia hanya bisa menjadi penonton.

Mengenai kondisi bisnis tekstil saat ini, Iwan mengatakan jika ada perubahan landscape bisnis dunia pasca pandemi Covid-19. Termasuk dengan adanya persoalan geopolitik. Dimana Cina dan Amerika bisa dikatakan sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Singkatnya, dari kondisi tersebut lalu ada semacam over capacity. Sebab yang sebelumnya ada pasar di Amerika, kini pasar besar tersebut seakan sudah terhalang. Pada akhirnya dilimpahkan ke pasar lain.

“Ketika ada over capacity, spill out ke Indonesia yang secara regulasi sangat lemah. Kenapa lemah? Saya lihatnya seperti ini, misalnya di dokumen menyebutkan barang yang akan masuk adalah barang ini, ternyata yang datang itu barang yang sama yang sudah ada di dalam negeri. Itu banyak sekali yang lolos. Kenapa seperti itu, saya tidak mau masuk ke ranah itu,” jelas dia.

Namun menurut Iwan hal itu bukan berarti tidak ada solusi. Solusi yang menurutnya bisa dilakukan yakni dengan menempatkan orang-orang yang benar-benar memahami dan mengikuti binsis tekstil di tataran regulator.

Selanjutnya diharapkan ada regulasi yang menunjang perkembangan bisnis dan pasar dalam negeri. Terkait dengan Permendag No. 8/2024 juga dinilai ada hal yang perlu ditinjau lagi. Sebab menurutnya pada aturan itu justru mencabut adanya syarat pertimbangan teknis (pertek) sebagai dokumen impor produk TPT yang sebelumnya disyaratkan dalam Permendag No. 36/2023.

“Padahal itu [pertek] yang menjadi pagar. Harusnya diperketat. Itu yang importir umum [pertek dihilangkan]. Sementara untuk importir produsen justru ada pertek, itu kan lucu. Sebenarnya aturan di negara lain sama, pertek harus ada dan sangat logis. Sebenarnya pertek tekstil tidak terlalu susah, tapi itu saja akhirnya bolong lagi,” kata dia.

Dia juga menyampaikan jika lesunya industri tekstil bukan karena menurunnya daya beli dalam negeri. Menurutnya daya beli masih ada di dalam negeri, namun tinggal uangnya mau dibuang dengan membeli produk impor atau mau ditaruh di dalam negeri.

Selain itu jika ada dugaan kuat mengenai praktik dumping dari produk impor, mestinya regulasi antidumping juga bisa dijalankan dengan baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya